Selasa, 15 Maret 2016

Menyingkap Kehidupan Masyarakat Pesisir Pantai Prigi



Pagi itu hawa dingin menyelimuti kami yang masih terlelap dalam tidur. Aku pun terbangun dan mengucap syukur atas nikmat dan rahmad-Nya kepadaku. Suasana pagi itu sangat sejuk sesejuk pohon – pohon yang ada di rumah Mbah Jiran. Rumah Mbah Jiran ini adalah basecamp kami untuk beberapa minggu ke depan. Rumah dengan arsitektur kuno, berhalaman luas dan di sekelilingnya di tanami bermacam – macam pepohonan, tak luput di belakang rumah juga ada beberapa tanaman buah. Di sini Mbah Jiran hanya tinggal bersama istrinya, Mbah Endang. Mereka sosok orang tua yang humanis, tak lekang oleh usia, semangatnya masih membara, apalagi jika Mbah Jiran sedang menceritakan masa mudanya. Oouh…. Masa muda yang di penuhi dengan pretasi. Mbah Jiran dulu adalah seorang guru, sekaligus atlet lari. Sifat kedisiplinannya masih terlihat walau kulit sudah keriput, dan mata sudah tidak sejelas dulu. Bu Endang adalah sosok pendamping yang sangat setia, sabar dan penuh kasih sayang kepada siapapun, tidak terkecuali kepada kami. Rumah ini, basecamp pertama kami yang tentu saja tidak bisa aku lupakan, bahkan sampai sekarang. 
Saat itu waktu menunjukkan pukul 06.00 WIB. Setelah Sholat Subuh aku bergegas untuk antri mandi sebelum teman – teman yang lain bangun. Tak jarang kami sering berebut untuk mandi duluan. Paling sering aku di serobot oleh mas Warsho, salah satu teman kami yang senior. Di saat yang lain sedang bergantian mandi, kami membeli sarapan. Biasanya ketika pagi kami ke pasar Prigi yang letaknya kurang lebih 500 meter sebelah timur rumah Mbah Jiran. Pasar ini ramai ketika pagi hari saja. Di sana ada makanan yang khas, tetapi aku lupa namanya, bentuknya seperti lontong sayur, yang biasa di makan dengan sayur manisah dan peyek. Harganya cukup ramah di kantong kami, mungkin sekitar 4.000,- saja. Jika tidak ke pasar Prigi, kami ke warung Mbah Ginah. Sejarah menemukan warung mbah Ginah ini, awalnya kami memperoleh informasi dari responden, dari mulut ke mulut. Yup, di sana favorit buat temanku yang bernama Udin, karna citarasanya yang maknyus, semua masakannya masih di masak memakai pawon (memasak menggunakan kayu bakar), sistemnya prasmanan, dan harganya ramah banget di kantong.
Selepas sarapan bersama (untuk makan tim kami memang mengusahakan untuk selalu makan bersama), kami bergegas untuk mengecek tas masing2, dan kemudian berangkat ke rumah responden masing – masing. Kali ini aku mendapatkan giliran mengunjungi rumah salah satu responden yang tidak bisa kami sebutkan namanya, beliau seorang lansia yang usianya lebih dari 60. Sehari – hari bapak ini membuat reyeng, ialah keranjang ikan yang terbuat dari bambo yang di bilah – bilah kemudian di anyam. Beliau bekerja hanya dengan istrinya. Sedangkan anaknya, bekerja sebagai nelayan. Tak jarang untuk mencukupi kebutuhan sehari – hari, beliau mencarikan rumput untuk kambing milik tetangganya. Walaupun hasilnya pun tidak seberapa. Anaknya yang bekerja sebagai nelayan, hasilnya juga tidak pasti. Untuk musim – musim tertentu, bahkan tidak ada ikan sama sekali untuk di tangkap. Di luar kesempitan hidup, keluarga ini tampak senantiasa bahagia. Di tengah – tengah perbincangan kami, ada saja celetuk beliau yang membuat kami tertawa. Sungguh menyenangkan keluarga ini. Keluarga yang ramah, dan hangat. Mereka tidak mempermasalahkan kesulitan ekonomi, karena mereka tahu bahwa rejeki itu sudah di atur oleh-Nya. Tak terasa perbincangan kami pun sudah sampai jam 14.00, aku berpamitan kepada beliau untuk istirahat sejenak di basecamp dan malam nanti akan kembali lagi. 
Malam pun tiba, selepas Maghrib, aku menyiapkan beberapa alat kesehatan. Selanjutnya bergegas ke rumah beliau untuk meneruskan perbincangan kami yang tadi siang belum selesai. Sesampainya di sana, kami di sambut dengan ramah, dan semua anggota keluarga sudah berkumpul. Tak jarang di tengah – tengah perbincangan, beliau menguap tanda mengantuk, aku semangati beliau dengan mengajaknya bercanda, alakadarnya hehe…. Karna aku pun juga tidak terlalu humoris orangnya. Dan ssst…. Lampu mati, perbincangan makin seru walaupun lampu mati. Dengan penerangan seadanya, akhirnya pengumpulan data untuk keluarga ini selesai. Saatnya pengukuran kesehatan, keluarga sangat antusias, kami pun makin bersemangat. Dan setelah jam 09.15, semuanya selesai selepas memberikan tanda terimakasih kami berpamitan pulang….. to be continue