Selasa, 11 Juni 2013

RISKESDAS 2013 Kota Malang, Heyooo,,,,,,


Saat detik – detik terakhir Training Center (TC) di Surabaya akhir bulan April lalu, ada ekspresi sedih dan gak mau pisah dengan enum dari kota/kab lain. Hal itu karena selama kurang lebih 9 hari di sana kami merasa sudah dekat dan seperti keluarga. Tapi kembali lagi, di sini fokusnya adalah mengemban tugas negara. Mau tidak mau, suka tidak suka, kami harus PULANG ke kota/kab masing – masing.

Untuk enum Malang, kami dikumpulkan lagi tanggal 1 mei. Untung tidak langsung puldat (pengumpulan data). Pada hari itu, semua enum Malang berkumpul di Dinas Kesehatan (DINKES) Kota Malang untuk mengikuti pembukaan RISKESDAS 2013 wilayah Kota Malang. Acara berlangsung cukup singkat, isinya sambutan – sambutan aja. Eits,,,tapi ga boleh seneng dulu, karena ternyata setelah pembukaan, kami di bawa ke tempat yang menurut orang DINKES itu basecamp kami nantinya. Dan ternyata,,,Basecamp nya itu di ruang kosong deketnya RSB (Rumah Sakit Bersalin), sebelahnya ruang operasi pula. Gimana gak keder waktu masuk. Hihii….Tapi enggak apa apa lah untuk hari itu saja. Di sana kami ngecek – ngecek kuesioner. Seneng sih, rame – rame. Bu Widji juga ikut lhoo (Bu Widji itu supervisor kami selama jadi enum di malang).

Tepat tanggal 3 Mei, kami mulai puldat. Lokasi sasaran kami di Wonokoyo. Hmm…daerahnya orang MA (Madura Aseli) dan merupakan lokasi terjauh kami. Kami ber-25 langsung terjun ke lapangan, lengkap dengan peralatan perang. Hehe,,,lebayy, Alhamdulillahnya kami di sambut baik oleh warga sana. Sampe – sampe setiap rumah ada aja yang kasih makanan. Yang ga bisa tak lupakan di Wonokoyo itu, aku pernah ke rumah warga yang di dalemnya cuma ada 2 orang. Seorang kakek dan seorang ibu. Jangan salah, ternyata mereka ini suami istri. Meski di usianya yang sekitar 70-an ini. Kakek tersebut masih energik, dan lucunya ga ketulungan. Masih inget banget kalo sang kakek sempet ngeramal pada usia berapa kami akan nikah. Aku, mbak Arin, dan Puspa di buat ketawa terus sama beliau.

Lanjut dari Wonokoyo, kami ke Gadang. Lokasinya 180 persen berbeda dari Wonokoyo. Maksudnya lokasinya itu lo perumahan besar dan rata – rata orang penting. Otomatis kami harus menyesuaikan bagaimana kami berkomunikasi, menjelaskan maksud dari kedatangan kami, cara berpakaian juga kami perhatikan. Dari 2 lokasi pertama itu aja kami merasa bahwa kerja di setting komunitas itu susah susah gampang. Dengan karakter masyarakat yang berbeda – beda, adanya terbuka, ada yang tertutup, status pendidikan yang bermacam-macam pun tidak kami abaikan.

Lokasi yang masih teringat di benak saya setelahnya adalah Kasin. Yah, kalo kemarin – kemarin yang kami hadapi etnis Madura, di sana yang kami ketemui adalah ONEC. Ada yang tahu apa itu???.  ONEC itu sebutan salah satu anggota kelompok kami, Bu Nina. Kata beliau, kalo orang asli Malang ngerti maksud dari bahasanya dia. Ternyata ONEC itu maksudnya etnis thionghoa/ cina. Jujur sebelum masuk ke lapangan, pikiranku sudah jelek duluan. Di bayanganku nanti kami pasti ditanyain macem – macem yang duetill dulu baru orange mau diambil data. Memang rata – rata orang cina itu kritis. Dan ternyata bener loh, baru masuk aja kami wes ditanya soal SPJ (Surat Perintah Jalan) dari Dinkes, Surat dari kelurahan, Surat RW, wes pokoknya detil banget. Tapi kami senang karena itu suatu pembelajaran tersendiri bagi kami. Dan Alhamdulillahnya, sebenernya kalau kita bisa menjelaskan informasi dengan baik kepada mereka, kita pasti di terima baik kok sama mereka.

Hari – hari berikutnya, kami juga turun ke lokasi yang berbeda – beda. Kami pernah dapat lokasi di area Kota Malang sebelah timur. Kalau waktu itu pembaca ikut bersama kami, mungkin semua tidak akan menyangka bahwa itu kota. Hmm…karena daerahnya itu masih pelosok, masih banyak kebun tebu, jalan juga masih jelek (kalau orang Malang menyebutnya “Gronjalan”), Puskesmas jauh, praktek dokter jauh, sekolah juga lumayan jauh, apalagi rumah sakit dan Mall. Mata pencaharian warganya rata – rata buruh membuat batu bata. Jumlah remaja yang menikah di bawah umur juga tinggi. Kalau di pikir – pikir, ironis memang. Di tengah hiruk pikuk kota yang semakin maju, kebutuhan financial yang semakin tinggi, kok ya masih ada daerah yang seperti ini. Kami cuma berharap dengan apa yang kami lakukan ini, setidaknya bisa membuat “Melek” pemerintah untuk lebih memperhatikan masyarakatnya.

Lokasi terakhir yang kami kunjungi adalah The OLD city (Sebutan kerennya Kota Lama). Kalo di sini, kami ketemu dengan orang MA lagi. Ada yang masih inget??,,yup, Orang Madura Aseli. Hehehe,,,,
Kota Lama ini lokasi yang paling padat penduduknya menurut kami. Bener sih cuma satu blok tapi jumlah ART (Anggota Rumah Tangga) nya per-rumah “lumayan”. Jalan- jalan di daerah sini sensasinya sama dengan masuk kampung yang letaknya di gang – gang kecil di Jakarta (kayak pernah aja ke Jakarta…liat dari TiPi doang, hehehe). Kalau menurut saya pribadi itu pengalaman menarik yang mungkin susah untuk di lupakan. Di mana kami jalan di antara rumah yang bisa di sebut “tidak besar”, dengan banyak anak – anak kecil berlarian, ibu – ibu tua duduk – duduk di  teras. Beneran deh, Sensasinya “sesuatu”. Suatu saat berharap bisa mengulang masa – masa ini. Dan di sini, kami belajar banyak mengenai arti keluarga. Terutama soal tradisi “Makan Gak Makan Asal Kumpul” dan “Banyak Anak Banyak Rejeki”. Sepertinya warga di sini memegang kuat tradisi tersebut.

Hingga kami temukan sebuah rumah yang menjadi salah satu responden kami. Rumahnya bisa di bilang tidak besar. Kurang lebih ukurannya 15 m2 dengan jumlah ART 5 orang. Dengan ukuran segitu di dalemnya sudah ada kamar mandi, kamar tidur dan dapur, ada etalase kecil buat dagangan pula. Bisa di bayangkan kan? Bagaimana ruwetnya. Dari perbincangan dengan si Ibu, untuk ukuran rumah segitu itu pun kontrak. Perasaan kami ga karuan, antara ga tega tapi yah gimana lagi. Kami belum bisa membantu apa – apa.

Flash Back lagi ke responden – responden sebelumnya yang bisa di bilang hidup berkecukupan. Pernah kami menemukan responden yang rumahnya aja 2000 m2. Punya bengkel, warung makanan, dan galeri. Lantas kami berpikir kenapa ya jauh sekali kesenjangan social. Ini aja masih level Malang. Bagaimana kalo sudah level provinsi, bahkan pusat. Tanya kenapa???? Saya pun tidak bisa menjawab.

Dan Akhirnya, banyak pelajaran yang bisa kami petik dari pengalaman – pengalaman kami ketika menjadi Enumerator RISKESDAS 2013 untuk wilayah Kota Malang. Memang sekilah melihat potretnya, banyak hal yang masih perlu di benahi. Kami hanya berharap semoga apa yang telah kami lakukan bisa memberi manfaat. Bukan di lihat dari besar kecilnya usaha yang kami keluarkan, tapi lebih kepada dampak yang di hasilkan. thx